Dulu ketika kecil, saya tidak terlalu menganggap serius tangan-tangan yang tidak mau diam ini. Kini semakin bertambah usia, ketika saya menengok ke belakang dan mengumpulkan cerita-cerita hidup saya, semakin saya menyadari bahwa di dalam kedua tangan ini ada kasih sayang yang Allah di dalamnya. Ada kelembutan dan karunia Allah di sela-sela jari-jarinya. Ada cinta Allah yang membuatnya bisa membuat aneka karya tanpa jemu dan lelah.
Bahkan, ketika kini beberapa kali saya 'terpaksa' diam karena sakit dan tidak melakukan apa-apa dengan tangan-tangan ini, saya merasa luar biasa bete. Tubuh saya boleh diam, otak saya mungkin tidak berpikir apa-apa, namun kedua tangan ini serasa ingin terus bergerak.
Ya Allah, titipkan rahmat dan berkah-Mu melalui tangan-tangan ini. Jadikan mereka jalan untuk aku meraih cinta sejati-Mu di syurga nanti... Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin....
Cerita dimulai.
Dari kecil, saya sudah suka mendongeng. Kebisaan ini saya dapat dari Papa. Dulu, ketika kami (anak-anaknya) masih kecil, setiap malam minggu Papa selalu meluangkan waktu untuk mendongeng untuk kami. Sambil tidur-tiduran di tikar, kami mendengar Papa mendongeng apa saja, mulai dari dongeng Si Kancil, Buaya Putih dari Kali Mati, Si Pitung, bahkan sampai cerita-cerita horor seperti Si Manis Jembatan Ancol, hantu di kebun raya Bogor, dan pengalaman-pengalaman mistis yang dialami oleh Opa, kakek kami.
Saya ingat, Papa selalu bersemangat setiap kali bercerita. Ia membuat cerita itu seakan-akan menjadi tampak nyata dan sungguh-sungguh terjadi, meskipun mungkin hanya dongeng. Kami pun senang menanggapinya, selalu menanyakan dengan penasaran dan sangsi apa benar kakek buyut kami kenal dengan Si Pitung, atau apa benar di kebun raya Bogor ada hantu yang bisa membuat tukang-tukang sate takut berjualan di sana? Anyway, kami semua sangat menikmati dongeng-dongeng yang diceritakan Papa.
Tumbuh besar sedikit, saya mulai mengikuti hobi Papa mendongeng. Saat pulang sekolah (SD), beberapa kali saya mendongeng di rumah, di hadapan adik dan teman-teman dari sekitaran rumah. Setiap kali mendongeng, mereka (para penonton yang setia, hehe) mendengarkan dengan serius dan penuh rasa ingin tahu. Padahal, dalam hati diam-diam saya tertawa sendiri sambil berceletuk ,’Mau aja didongengin cerita boongan’ (usil banget ya?). Tapi, mungkin karena memang cerita yang saya bawakan menarik, mereka tetap mendengarkan dari awal hingga akhir.
Saya pernah mendongeng cerita yang saya karang mendadak setelah mengamat-amati sepasang sendok dan garpu. Saya juga sudah lupa jalan ceritanya, yang jelas ceritanya benar-benar lahir dari kreatifitas otak saya saat itu.
Bersamaan dengan mendongeng, saya mulai hobi saya mencorat-coret kertas. Kali ini, hobi saya ini saya pelajari diam-diam dari Mama. Karena Mama membuka salon di komplek rumah kami, saya sering melihat-lihat buku dan poster aneka model potongan rambut. Saya tertarik sekali dengan model-model rambut itu dan coba menggambarnya sendiri. Saya lalu membuat wajah perempuan dengan macam-macam rambut, laki-laki dengan janggut dan brewok, berlanjut ke ibu-ibu bertubuh kurus, gendut, dan lain-lain.
Lama-kelamaan, sambil menggambar orang, otak saya mulai mengarang sebuah alur cerita. Ya, lagi-lagi kembali ke cerita. Saya asyik menciptakan tokoh-tokoh dan ceritanya masing-masing. Banyak sekali. Buku-buku bekas dari kantor Papa yang masih bersih di bagian belakangnya habis saya corat-coret. Bahkan, buku tulis sekolah dan majalah anak-anak pun tidak lepas dari aneka gambar orang dan dekorasi.
Menjelang lulus SD, saya punya ide membuat lomba menggambar untuk anak-anak yang di sekitar rumah. Saya dan adik saya Vina pun ikut lomba itu dan menggambar dengan pensil warna dan krayon di kertas-kertas buku gambar kami. Hasilnya cukup lumayan, terkumpul kurang lebih 10 buah gambar beraneka tema, berwarna-warni. Teman-teman yang ikut lomba menggambar ini saya berikan suvenir kecil-kecil yang ada banyak di rumah (sebenarnya sih milik Mama dan Papa)
Saya dan adik saya tentunya tidak mendapat suvenir-suvenir itu tapi kami mendapat hal lain yang lebih keren: setumpuk gambar dengan aneka bentuk dan warna. Lalu, apa yang selanjutnya saya lakukan? Seluruh gambar itu saya tempel satu-persatu di dinding kamar hingga kamar kami tampak indah dan meriah. Kami sangat senang, tapi sayangnya kesenangan itu hanya dapat saya nikmati sesaat saja. Saat Mama dan Papa melihatnya, mereka marah dan menganggap kami mengotori kamar.
Akhirnya, dengan berat hati, gambar-gambar itu pun saya copoti lagi dan saya simpan. Melihat sikap Mama dan Papa tersebut, saya pun kembali ke hobi saya sebelumnya, yaitu mencorat-coret kertas dan buku bekas dengan dibumbui cerita.
Cerita berlanjut lagi...
0 komentar:
Posting Komentar