Tulisan inspirasi tentang hipnoterapi, hening, dan mental health.

27 Mar 2021

Belajar Mengenal Diri Saya Sendiri

 

Be Who I Am

Di usia 40 tahun lebih sekarang ini, saya baru belajar memahami pentingnya mengenali diri sendiri. Ternyata selama bertahun-tahun dalam hidup saya, sejak kecil, remaja, hingga dewasa saya tidak pernah benar-benar mengenali diri saya sendiri.

Siapa Saya?

Ketika kecil, yang saya kenali dari diri saya sendiri adalah Vani (Teteh, panggilan di keluarga) si Judes. Vani si Hitam. Vani si Gendut. Vani si Tukang Cemberut. Semua itu saya dapati dari orang-orang dekat di sekitar saya; keluarga inti dan keluarga besar.

Beranjak remaja, saya mengenali diri saya, juga dari apa yang dipersepsikan orang-orang di sekitar saya, sebagai Vani si Jago Bahasa Inggris, Vani si Pendiam, dan Vani si Kemayu. Persepsi baru tersebut saya dapatkan dari teman-teman di SMP yang banyak bergantung kepada saya saat pelajaran bahasa Inggris, serta teman SMA yang menjadi rekan seperjalanan dari gerbang sekolah ke jalan utama di perempatan Cijantung.

Ketika SMP, saya sangat menyenangi musik slow rock luar negeri dan mengoleksi beberapa album mereka seperti John Bon Jovi dan Roxette. Saya senang menempel poster penyanyi rock di dinding kamar saya dan menghafal lagu-lagu mereka. Bagi saya, para penyanyi rock itu sama seperti bintang cover idola dari majalah Gadis atau HAI yang banyak digandrungi remaja.

Saat SMA, ketika berjalan pulang bersama teman-teman sekelas atau satu organisasi yang ramai berteriak dan bersenda gurau, saya lebih banyak tersenyum atau bicara seperlunya. Padahal, di saat yang sama saya sebenarnya tidak pendiam-pendiam banget. Di luar waktu sekolah, saya ikut bela diri di lingkungan Kopassus Cijantung. Saya juga ikut les bahasa Inggris di lembaga LIA yang puluhan kilometer jaraknya dari rumah dan sekolah, dan harus saya tempuh dengan menaiki bus antar kota. Intinya, kalau saya dinilai orang lain sebagai kemayu, pendiam, tidak banyak gerak, ya tidak 100% benar. Mereka saja yang tidak benar-benar tahu tentang diri saya.

Tapi... ternyata saat itu saya sendiri pun tidak benar-benar mengenali diri saya sendiri. Contohnya dalam hal olahraga bela diri. Saya mengikuti olahraga ini sebagian karena disuruh oleh ayah saya, yang menginginkan agar saya lebih fit dan bugar, serta tidak terlalu 'berisi'. Padahal, setiap kali saya harus lari sebelum latihan dimulai, saya selalu berada di barisan paling belakang. Saya tidak kuat berlari jarak jauh dan hampir selalu kewalahan mengikuti langkah teman-teman saya.

Saya juga tidak jago mengingat gerakan-gerakan bela diri yang ada di setiap tingkatnya. Saya harus mengulang berkali-kali untuk bisa mengingat urutan gerakan yang berbeda-beda, baik ketika sedang latihan maupun saat di rumah. Hal yang paling bisa saya ingat dan lakukan dengan baik dari bela diri tersebut adalah latihan pernafasannya, yang bila saya perhatikan kini mirip dengan gerakan yoga. 

Namun, karena saat itu orangtua saya ingin saya aktif olahraga, akhirnya saya terpaksa mengikuti. Padahal, kalau boleh jujur saya sendiri lebih enjoy dengan kursus bahasa Inggris saya di LIA. 

Saya tidak pernah mengikuti lomba bahasa Inggris, tidak didorong untuk membuat karya dalam bahasa Inggris, atau bahkan berkesempatan memiliki buku-buku bacaan dalam bahasa Inggris. Orangtua saya sudah cukup senang dengan mengkursuskan saya di sana, namun tidak mendukung hal lainnya. Paling-paling, sesekali ayah saya mengajak saya dan adik mengunjungi perpustakaan British Council yang kebetulan berada satu gedung dengan kantor tempat ia bekerja. Tapi hanya sekedar melihat-lihat bukunya saja tanpa saya diberi kesempatan untuk meminjam buku yang saya inginkan. Sementara itu, uang saku saya sebagai pelajar tidak cukup membeli buku-buku seperti itu. Alhasil, saya hanya dapat menatap deretan buku-buku ber-cover tebal dan aneka topik tersebut dengan rasa iri. Persepi Tentang Diri Seumur hidup saya sejak kecil hingga dewasa, saya belajar untuk mengenali diri saya sendiri dari pandangan dan penilaian orang lain pada diri saya. Mulai dari usia sekolah, kuliah, bekerja, hingga berumahtangga, seluruh persepsi/ penilaian orang lain membentuk diri saya. Saya tidak pernah benar-benar mengenali diri saya sendiri, kecuali berdasarkan apa yang diucapkan atau dilakukan orang lain atas saya. Secara sifat, saya mengenal diri saya sebagai pasif, pendiam, pemalu, kemayu, judes, tidak suka bergaul. Secara fisik, saya mengenal diri saya sebagai gemuk berisi, hitam, pendek, tidak menarik. Meski sifat pendiam atau tubuh berisi tidak melulu berarti negatif, di benak saya semua penggambaran itu menciptakan citra diri yang buruk. Saya (berdasarkan penilaian orang lain) 70% buruk dan 30% baik, maka itu artinya saya tidak baik. Saya tidak ideal. Saya tidak sesuai dengan harapan mayoritas orang. Lebih jauh, bila didetilkan berarti saya tidak pintar, saya tidak menarik, saya tidak punya peluang sukses, saya tidak punya harapan. Karena buruknya penilaian diri saya sendiri tersebut, hampir sepanjang waktu dalam hidup saya lalui dengan rasa sedih dan tidak berharga. Ditambah lagi saya seorang perempuan, yang artinya banyak pengambilan sikap dalam hidup saya dipengaruhi oleh emosi. Hidup saya kemudian menjadi, selain tidak bahagia, juga tidak efisien. Kok bisa? Ya, karena untuk mengembalikan rasa berharga saya, saya akan melakukan apapun yang diinginkan orang lain atas saya. Dengan melakukan apa yang diinginkan orang lain, saya akan mendapat penilaian positif dari mereka, yang artinya dapat menambal-sulam citra diri negatif saya. Saya akan merasa 'sedikit' lebih bahagia akan penilaian positif tersebut. Tapi apakah hal itu efisien bagi hidup saya? Belum tentu. Apalagi bila yang mereka inginkan berlawanan dengan keinginan atau nilai saya sendiri. Hidup saya seperti lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya: penilaian posititf dari orang lain -> merasa bahagia -> menyadari inefisiensi -> kehilangan rasa bahagia -> mencari penilaian positif lainnya -> merasa bahagia, dan seterusnya. Contoh paling jelas adalah masa-masa ketika saya lulus SMA dan memulai perguruan tinggi. Saat lulus SMA, saya berusaha sekuat tenaga bisa memenuhi keinginan orangtua saya agar ananya ada yang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Saat tiba pengumuman ujian masuk, saya senang sekali karena lolos pada jurusan politik di sebuah PTN. Saya senang karena bisa 'membahagiakan' orangtua saya. Namun setelah dijalani beberapa waktu, hati saya tidak nyaman dan saya tidak merasa bahagia kuliah di sana. Saya lalu mengambil ujian masuk lagi, hingga akhirnya saya bisa masuk ke ITB. Saya kembali merasa senang dan merasa lebih bahagia lagi, karena bisa masuk ke perguruan tinggi yang lebih 'bergengsi'. Saat itu, saya merasa diri saya sangat positif karena penilaian yang sangat tinggi dari orangtua saya. Saya dinilai cerdas, tidak mudah menyerah, dan sebagainya. Tapi di saat yang sama, saya tidak bisa mengabaikan perasaan sedih akan waktu yang telah terbuang sebelumnya. Dinamika seperti itu berkali-kali muncul dalam hidup saya, semua disebabkan saya tidak pernah benar-benar mengenali diri saya sendiri. Hingga sejak kecil sampai dewasa, saya sibuk untuk mencari penilaian dari orang lain atas diri saya, baik dari orangtua, keluarga besar, teman, hingga orang lain yang kebetulan saya kenal dan temui. Saya tidak pernah tahu dan menyadari, bahwa sesungguhnya Tuhan sudah menitipkan sebuah kekuatan besar di diri saya sejak lahir. Vani, Si Senang Belajar Lompat ke belasan tahun berikutnya, kini, saya baru menyadari ada satu hal yang tidak pernah dipersepsikan dengan benar tentang saya oleh orang lain, yaitu Vani Si Senang Belajar. Entah mengapa, saya merasa penilaian yang positif ini memang sengaja disembunyikan oleh orang lain agar saya tidak mengetahui kekuatan diri saya tersebut. Di luar penilaian orang lain yang selama ini saya tahu; pendiam, pemalu, judes, plus penilaian fisik gemuk, hitam, dan pendek, sesungguhnya ada bagian dari diri saya yang tidak pernah hilang sejak saya kecil hingga dewasa. Yaitu, kesenangan saya akan belajar. bahwa saya bukan pribadi yang aneh karena tidak ambisius seperti orang-orang kebanyakan. Atau bahwa saya senang melucu sampai tertawa habis-habisan dan di saat lain bisa serius menekuni sesuatu. Atau bahwa bila saya sudah tertarik pada suatu hal saya bisa mempelajarinya dari A sampai Z tanpa bosan-bosan, mulai dari ilmu sains, sejarah, politik, web design, internet marketing, kerajinan tangan, dan banyak lagi. Atau bahwa saya (dengan intuisi saya miliki terhadap hal-hal di luar diri saya) dapat menarik garis lurus bahwa suatu kejadian akan menghasilkan kejadian lainnya atau sikap seseorang akan memicu sikap orang lainnya. Untuk saya, hal-hal seperti ini sangat mudah saya lakukan dan pahami.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Hipnoterapi Online? Bisa!

Hipnoterapi Online? Bisa!
Griya Hijau Hipnoterapi - Layanan Hipnoterapi Mudah & Modern

Join Grup WA Sehat Ruang Hening untuk Free Live Zoom Healing Bulanan

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Tangan Yang Menyembuhkan

  Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menulis dua buah post di blog ini yang berjudul 'Hands that heal' (tangan yang menyembuhkan)...

Blog Archive

Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com