2 Mar 2024

Kondisi Freeze karena Retraumatize

Kondisi Freeze

Beberapa hari yang lalu, saya mengalami kejadian retraumatize atau trauma ulang. Penyebabnya adalah interaksi antara saya dan kedua orangtua saya saat mereka ada dalam kondisi emosi yang negatif. Papa curhat, mengeluh sambil setengah marah mengenai Mama yang menurutnya ‘rewel tapi susah diberitahu’. Mama yang menderita diabetes dan pernah terkena dementia karena diabetesnya tidak bereaksi banyak. Pasrah karena Papa marah-marah tapi sekaligus juga keukeuh dengan keinginannya. Saya sebagai anak berada di tengah-tengah; berusaha menghibur, menyemangati, tapi juga bingung. 

Cerita masa kecil dengan ayah dan ibu saya jauh dari ideal. Kedua orangtua saya sibuk di luar rumah ketika anak-anaknya masih kecil; Papa bekerja sebagai pegawai swasta dan Mama aktif dalam organisasi TK Islam dan pengajian ibu-ibu. Papa membesarkan anak-anaknya dengan aturan yang sangat ketat dan keras, terutama kepada saya sebagai anak perempuan tertua. Saya harus berbagi peran menjaga rumah dan adik-adik karena Mama sibuk dengan segudang kegiatannya. 

Malam hari setelah bertemu dan mengobrol dengan Papa dan Mama, saya tidak bisa tidur. Saya tidak merasa mengantuk, mata saya sulit menutup, dan ketika akhirnya saya tertidur pun satu atau dua jam berikutnya saya terbangun dan sulit tidur lagi. Akibatnya, stamina saya merosot di pagi harinya dan saya merasa seperti zombie; tidak sanggup beraktifitas normal tapi juga tidak mengantuk. Kepala saya terasa berat, mata setengah terbuka, tapi sama sekali tidak bisa diajak tidur. 

Akhirnya saya bercerita kepada Ayah yang kebetulan sedang dinas di luar kota. Ayah bilang, saya mungkin mengalami retraumatize atau merasakan kembali pengalaman traumatis masa kecil. Menyaksikan letupan emosi Papa dan keukeuhnya Mama, membuat saya seperti kembali ke masa kecil ketika hal tersebut sering terjadi. Akibatnya, tubuh saya kembali ke trauma response mode bawaan saat kecil: fight, flight, atau freeze. Secara tidak sadar saya mencoba fight (melawan) emosi Papa dan Mama yang membuat tidak nyaman, namun karena tidak bisa akhirnya saya jatuh ke freeze (mematung). Efek freeze yang terbawa sejak kecil itulah yang membuat saya kemudian sulit tidur dan mengalami gejala-gejala inflamasi (lemas, sulit focus, sakit kepala, nafsu makan meningkat, emosi tidak stabil, dll). 

Ayah menyarankan saya untuk melepas mode bawaan tersebut dengan rileksasi dan peregangan (stretching). Gunanya agar saya bisa kembali ke diri saya sendiri saat ini dan mengurangi gejala-gejala inflamasi tersebut. Saya teringat akan metode TRE (Trauma Release Exercise) yang pernah saya coba beberapa saat lalu dan lumayan bisa membantu merileksasi tubuh. Segera, saya menggelar matras di lantai dan mengikuti video tutorialnya sampai akhirnya bisa merasakan tubuh saya perlahan-lahan menjadi rileks dan mulai mengantuk. Tidak mau buang-buang waktu, saya segera matikan semua gadget dan bergegas tidur. Agar lebih tenang, saya menyalakan suara green noise dari handphone dan membiarkan dengung monoton dan teratur tersebut membantu saraf di tubuh saya lebih santai dan tenang. Alhamdulillah, setelah dua malam sulit tidur akhirnya saya bisa tidur cukup tenang meski kualitasnya belum sebaik sebelum-sebelumnya.

Saya belajar dari kejadian ini bahwa ternyata retraumatize adalah hal nyata, terutama pada orang dewasa dengan memori masa kecil yang traumatis. Hal ini disebabkan tubuh manusia menyimpan memorinya sendiri, seperti yang dijelaskan oleh psikiater Dr. Bessel Van der Kolk dalam bukunya "The Body Keeps the Score" atau yang secara harfiah berarti "Tubuh Menyimpan Skor". Dr. Bessel van der Kolk mengungkapkan konsep bahwa tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyimpan jejak atau skor dari pengalaman traumatis, bahkan jika pikiran sadar kita tidak selalu sepenuhnya mengingatnya. Pengalaman trauma tersebut dapat menciptakan perubahan dalam otak dan tubuh, yang pada gilirannya memengaruhi perilaku, emosi, dan kesejahteraan seseorang. 

Bila kejadian traumatis terjadi saat masih anak kecil, tubuhnya dapat menyimpan jejak dari pengalaman tersebut bahkan ketika ia masih belum dapat sepenuhnya mengartikulasikan atau memahami secara verbal apa yang terjadi. Pengalaman traumatis pada anak, seperti pelecehan, kehilangan orangtua, atau kekerasan dalam rumah tangga, dapat memengaruhi perkembangan fisik, emosional, dan sosial serta berefek jangka panjang hingga dewasa. Anak yang mengalami masa kecil traumatis dapat menjadi orang dewasa dengan berbagai resiko kesehatan termasuk gangguan tidur, depresi, kecemasan, gangguan makan, serta penyakit jantung, diabetes, dan obesitas

Apa yang saya alami bisa jadi belum seberapa dibandingkan dengan mereka yang masih harus terus berinteraksi dengan orangtua dalam kondisi emosi yang negaif. 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Kenalan

Foto saya
Blog tentang ngobrol, crafting, keluarga, pengembangan diri, masak-masak.

Popular Posts

Semua Tulisan

Featured Post

Rumah Yang Nyaman

Ada alasannya kenapa 'rumah' yang ada di hati disebut 'home' dan bukan 'house'. Karena rumah yang sesungguhnya adala...

Blog Archive

Membership of :

Copyright © Rumah Vani | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com