![]() |
Gadis Cantik |
Sejak kecil hingga dewasa, Mama sangat jarang memuji saya cantik. Sekalipun saya anak perempuan pertama dari tiga orang anak perempuannya, saya hampir tidak pernah mendengar Mama memuji fisik saya sekalipun. Saya lahir dengan kulit cenderung gelap dan wajah bulat, berbeda dengan Mama dan kedua adik perempuan saya yang berkulit terang dan salah satunya berwajah tirus. Wajah saya lebih mirip dengan Oma, ibu dari Papa, yang juga berwajah bulat dan berkulit kuning langsat. Tubuh saya tidak pendek tapi juga tidak tinggi, dan dengan kombinasi wajah yang bulat membuat saya lebih terlihat 'chubby' daripada langsing.
Saya ingat ketika remaja seringkali merasa kesal karena Mama berulang kali menyuruh saya memakai bedak, terutama ketika kami hendak pergi ke acara pernikahan atau pertemuan keluarga. Alasan Mama adalah agar saya terlihat lebih 'putih', ya, putih. Wajar saya merasa kesal; kulit saya kecoklatan sawo matang namun harus terlihat putih. Alhasil saya sering marah dan mengamuk karena merasa dibedakan. Saat itu, seperti biasa Mama hanya diam dan tidak bereaksi atas kekesalan saya. Hingga akhirnya saya mengalah, membubuhi muka dengan bedak sambil memendam rasa sedih.
Ketika pertemuan dengan keluarga besar, saya sering jadi bahan bercandaan anggota keluarga lainnya. Mereka membanding-bandingkan fisik saya yang hampir 180 derajat berbeda dengan Mama dan menakut-nakuti saya. Mereka bilang Mama dan Papa tidak sayang pada saya karena saya 'beda'. Satu-satunya yang berkesan dan selalu teringat hingga kini adalah ketika Papa membela saya dan berkata ,"Biarin ya, Teh, biar item juga tetap anak Papa." Itu kalimat yang Papa ucapkan ketika saya masih SD dan diolok-olok keluarga yang lain. Kalimat itu satu-satunya yang membuat saya merasa terlindungi dan punya sandaran di rumah.
Perasaan Saya Sebagai Anak
Seorang anak butuh mendengar pujian atau apreasiasi dari orangtuanya agar tercipta hubungan yang harmonis. Pujian, apresiasi, support, dukungan atau apapun namanya akan membuat anak merasa dekat dengan orangtua, apalagi bila disampaikan dengan ungkapan dan gestur yang tulus. Anak akan merasa punya tempat berpijak dan kembali, yaitu rumah dan keluarganya. Ia juga tidak haus dukungan dan validasi dari orang lain, karena ia telah memiliki tim yang akan mendukungnya di dalam rumahnya.
Sebagai anak perempuan, saya pun butuh mendengar pujian atau apreasiasi dari orangtua, termasuk dalam hal penampilan fisik. Saya butuh seorang ibu yang menatap kedua mata saya dan mengatakan bahwa saya cantik dan 'cukup' baginya. Sekalipun tidak berkulit putih seperti dirinya, tidak langsing, dan tidak tinggi semampai, tetap ada keunikan dan keistimewaan yang bisa ia temukan dalam diri saya. Hal itu saya butuhkan namun tidak pernah saya dapatkan sejak kecil hingga dewasa. Hingga tanpa sadar, keyakinan bahwa saya tidak cantik, tidak menarik, dan tidak berharga tumbuh dalam diri saya.
Rasa dahaga akan pujian membuat saya melakukan banyak hal konyol saat remaja. Saya sering bersikap ramah dan memberi perhatian pada teman lawan jenis hingga mereka simpati, hanya untuk saya tinggalkan begitu saja. Sejak di bangku sekolah hingga kuliah saya melakukan tersebut beberapa kali, semuanya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Saya berlindung di balik sikap ramah, padahal ketika saya sadari kini keramahan saya hanyalah agar saya dianggap 'istimewa' oleh lawan jenis. Jauh di dalam hati saya, saya tidak pernah benar-benar suka pada seseorang. Saya hanya ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa saya cantik dan menarik, walaupun tidak sesuai standar kecantikan Mama.
Di Mataku Aku Cantik
Kini, setelah sedikit demi sedikit belajar mengenai psikologi dan jiwa manusia, saya
0 komentar:
Posting Komentar