Kita sering mendengar istilah narsistik dan langsung mengaitkannya dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD). Padahal, NPD adalah diagnosis klinis yang kompleks, yang hanya bisa ditegakkan oleh tenaga profesional lewat observasi mendalam, wawancara, serta pertimbangan klinis yang matang.
Tulisan ini tidak sedang membicarakan diagnosis NPD, melainkan mengajak kita menengok sisi-sisi narsistik sebagai sifat atau perilaku yang mungkin muncul dalam diri seseorang, bahkan dalam diri kita sendiri, tanpa harus masuk ke ranah gangguan mental.
Sama halnya ketika kita menyebut seseorang rendah hati, sabar, atau mudah marah. Itu bukan label medis, melainkan deskripsi tentang perilaku yang bisa kita amati dalam keseharian. Kalau kata “narsistik” masih terasa berat, kamu bisa menggantinya dengan istilah lain yang lebih familiar : toxic, mengganggu, atau sekadar “pola perilaku yang tidak sehat.”
Mengapa Penting Membicarakan Karakter Ini?
Karena pola-pola narsistik sangat memengaruhi kualitas hubungan. Seringkali, orang dengan kecenderungan ini menciptakan dinamika yang melelahkan : ada yang selalu dijadikan kambing hitam, ada yang jadi penengah, ada pula yang dibuat meragukan dirinya sendiri.
Kita tidak membicarakannya untuk menghakimi, melainkan untuk belajar mengenali pola. Dengan begitu, kita bisa lebih sadar saat mengalaminya, sekaligus tahu cara menjaga batas (boundaries) agar energi emosional kita tidak terus terkuras.
Beberapa Pola yang Sering Muncul :
1. Feeling entitled (merasa berhak)
Orang dengan karakter ini sering merasa berhak atas apa pun : menyerobot antrean, berhak mendapat pelayanan lebih baik, mengambil sesuatu yang bukan haknya, bahkan menjelek-jelekkan orang lain. Rasanya seperti ada “hak istimewa” yang melekat, meski sebenarnya tidak ada.
2. Manipulatif
Cenderung senang memanipulasi situasi, kondisi, atau emosi orang lain demi kepentingan pribadi. Misalnya, membuat orang merasa tidak enak hati sehingga akhirnya menuruti keinginannya. Pernahkah kamu bertemu orang yang seperti ini?
3. Projecting atau melampiaskan
Kesal pada atasan di kantor, pasangan atau anak jadi sasaran. Marah pada teman, emosi dilepaskan dengan ngebut di jalan dan membahayakan orang lain. Tidak nyaman dengan seseorang tapi tak bisa mengungkapkan langsung, melampiaskan pada pihak yang dianggap lebih lemah.
4. Sulit merasakan empati
Orang dengan karakteristik narsistik sulit sekali bisa berempati tulus pada orang lain karena selalu menggunakan dirinya sebagai standar kenyamanan. Akibatnya, mereka sulit untuk bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memahami sudut pandang orang lain. Sebaliknya, mereka berharap orang lain untuk bisa memahami dan mengerti dirinya.
Bagaimana Kita Menyikapinya?
Idealnya, setiap orang mampu meregulasi emosinya sendiri. Saat marah, sedih, takut, atau kecewa, cara sehatnya adalah mengungkapkan dengan asertif, mencari dukungan, atau menenangkan diri. Bukan dengan melibatkan pihak ketiga, memanipulasi, atau menjadikan orang lain wadah pelampiasan. Sayangnya, dalam praktiknya, tidak semua orang mampu. Di sinilah kita sering terluka.
Kalau membaca tulisan ini membuatmu teringat pada seseorang, atau mungkin menyadari ada pola serupa dalam dirimu, jangan terburu-buru menghakimi. Kita tidak bisa mengubah orang lain dengan paksa. Yang bisa kita lakukan adalah : mengenali polanya, melindungi diri dengan batas sehat (boundaries), dan memilih respons yang lebih bijak.
Pola karakter narsistik lain akan saya bahas di tulisan yang lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar