Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah thread menarik tentang pentingnya rasa aman dalam membentuk kecerdasan emosional. Saya setuju 100% dengan penulisnya. Tapi saya juga membaca komentar-komentar yang menyangkal, bahkan mengatakan bahwa justru lingkungan yang keras dan tidak amanlah yang mengasah kemampuan seseorang mengelola emosi.
Pernyataan ini terdengar masuk akal di permukaan, tapi mari kita lihat lebih dalam dari sudut pandang tubuh dan sistem saraf.
Ketika Tubuh Tidak Aman, Otak Tidak Bisa Tenang
Rasa aman adalah fondasi utama kecerdasan emosional. Mengapa?
Karena seseorang yang tumbuh dalam kondisi tidak aman secara emosional maupun fisik, misalnya dalam lingkungan KDRT, pengabaian, tuntutan berlebihan, atau bullying, akan hidup dalam mode bertahan hidup. Sistem sarafnya terus-menerus aktif dalam mode fight, flight, atau freeze.
Dalam kondisi ini :
-
Otot tubuh cenderung tegang
-
Nafas menjadi pendek
-
Pencernaan dan tidur terganggu
-
Dan yang paling penting: akses ke pusat pengendalian emosi di otak (prefrontal cortex) menjadi terbatas.
Artinya, orang ini akan lebih mudah reaktif daripada responsif. Jika ada sesuatu yang memicu emosinya, ia cenderung :
-
Meledak (fight)
-
Menghindar (flight)
-
Membeku dan bingung (freeze)
-
Atau bahkan mati rasa dan numb (shutdown)
Rasa Aman Membentuk Kemampuan untuk Hadir dan Mengelola Emosi
Sebaliknya, seseorang yang tumbuh dalam lingkungan yang aman secara emosional, belajar mengenali perasaan yang muncul tanpa takut dihakimi. Ia belajar :
-
Mengelola kemarahan tanpa menyakiti
-
Merespon kekecewaan tanpa menyalahkan
-
Menyampaikan perbedaan dengan tenang
-
Menjaga batasan sambil tetap bersikap empatik
Karena tubuhnya tidak dalam mode bertahan, ia bisa :
-
Bernapas dengan utuh
-
Mendengarkan dengan hadir
-
Memproses konflik tanpa panik
-
Dan tetap terhubung dengan dirinya di tengah tekanan
Empati Sejati Tidak Tumbuh dari Waspada
Tentu saja, mungkin saja seseorang terlihat empatik dan tenang, meskipun tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman. Tapi seringkali, itu bukan empati yang sehat, melainkan strategi bertahan agar diterima.
Ia belajar membaca suasana hati orang lain karena sejak kecil hidup dalam kewaspadaan:
Jika ayah sedang marah, ia harus cepat tahu. Jika ibu sedang kecewa, ia harus menghibur. Jika lingkungan mengancam, ia harus menyesuaikan diri.
Empati seperti ini bukan buah dari kehadiran, tetapi dari ketakutan.
Dan tubuh tidak dirancang untuk bertahan terus-menerus. Lama-lama akan muncul:
-
Ledakan emosi yang tak tertahankan
-
Perasaan bersalah karena memendam
-
Kebingungan identitas
-
Atau bahkan gejala fisik kronis
Kecerdasan Emosional Sejati Membuat Kita Berdaya dan Bahagia
Kecerdasan emosional sejati bukan sekadar bisa menahan marah atau jadi pendengar yang baik.
Ia adalah kemampuan untuk:
-
Mengenali, menerima, dan mengelola emosi diri sendiri
-
Merespon emosi orang lain dengan tepat
-
Menjadi otentik dan hadir tanpa kehilangan diri sendiri
Dan semua itu hanya bisa tumbuh dalam ruang yang aman. Terutama dalam keluarga, tempat pertama di mana seorang anak belajar tentang cinta, batas, dan validasi.
Anak yang tumbuh dalam pelukan rasa aman :
-
Tidak merasa bingung atau hampa saat kecewa
-
Tidak panik saat gagal
-
Tidak merasa dirinya rusak saat ditolak
Karena ia telah mengenal dirinya sebagai makhluk yang berharga, bukan karena pencapaian, tapi karena keberadaannya sendiri.
Jadi, apakah kerasnya hidup bisa mengajarkan kita mengatur emosi?
Mungkin ya, tapi hanya sebagai bentuk survival. Dan itu tidak akan berlangsung lama.
Yang benar-benar menyembuhkan, membuat kita hadir, peka, lembut namun kuat, hanya bisa tumbuh dari satu tempat: rasa aman.
0 komentar:
Posting Komentar